LOGO MUHAMMADIYAH
Brebes_Share: Revitalisasi Gerakan Memperkokoh Komitmen Bermuham...: "Menjelang Usia hampir 100 tahun, Muhammadiyah mengalami dinamika internal yang meme..."
Selasa, 25 Januari 2011
Brebes_Share: Mencari Figur Pemimpin yang Kuat Kemandirian Fi...
Brebes_Share: Mencari Figur Pemimpin yang Kuat Kemandirian Fi...: "Siapapun yang terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran Pimpin..."
Brebes_Share: Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif...
Brebes_Share: Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif...: "Pasca krisis moneter beberapa tahun lalu, di masyarakat Indonesia tumbuh hara..."
Brebes_Share: Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas
Brebes_Share: Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas: "Sebuah pemikiran otokritis mencuat dalam forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah..."
Brebes_Share: Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesi...
Brebes_Share: Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesi...: "Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah mengalami dinamika internal ..."
Brebes_Share: Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang
Brebes_Share: Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang: "Salah satu perilaku yang menciderai kehidupan masa kini adalah keputusasaan d..."
Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif
Pasca krisis moneter beberapa tahun lalu, di masyarakat Indonesia tumbuh harapan untuk bangkit kembali dengan membangun kepercayaan diri. Harapan masyarakat itu memberi peluang terbuka bagi berkembangnya industri jasa berbagai pelatihan untuk pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Beberapa motivator sukses mendulang rupiah dengan menggelar training-training untuk pengembangan diri menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif.
Fenomena booming industri pelatihan ini menjadi cerminan atas realita sosial yang retak akibat sistem nasional di masa lalu yang sentralistis dan materialistis. Di bawah pengaruh sistem masa lalu bangsa ini terperangkap dalam berbagai tekanan tanpa kebebasan yang melemahkan kepercayaan diri dan kreatifitasnya . Proses kaderisasi dalam berbagai kelembagaan masyarakat berjalan tidak efektif di bawah kontrol politik yang anti demokrasi. Dampak totalitasnya adalah daya saing kita sebagai bangsa menjadi sangat lemah.
Daya saing bangsa ini yang utama dan terutama bukan karena sumberdaya alamnya, tetapi lebih ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Krisis moneter tanpa ketangguhan sumberdaya manusia untuk mengatasinya terbukti telah menjadikan bangsa ini sekian lama terpuruk dalam krisis yang bersifat multidimensi. Beberapa bencana dan musibah yang silih berganti seolah melengkapi penderitaan bangsa yang lemah dalam kualitas sumberdaya manusianya.
Kualitas sumberdaya manusia terkait dengan output pendidikan dalam suatu negara. Dalam realita, sistem pendidikan nasional yang karut marut menjadikan output yang dihasilkan belum memberi solusi bagi bangsa ini. Meningkatnya populasi perguruan tinggi misalnya, ternyata tidak diikuti dengan tradisi keilmuan yang semakin baik, terbukti masih kuatnya orientasi masyarakat sekadar untuk mengejar status akademik atau gelar kesarjanaan. Kesenjangan antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan jumlah sarjana yang menganggur dapat berpengaruh pada rendahnya rasa kepercayaan diri generasi muda untuk belajar keras dengan meraih prestasi akademik tertinggi.
Pada awalnya rasa kurang percaya diri hanyalah problem psikologis, tetapi kemudian meluas menjadi problem sosial yang diransfer melalui sistem pendidikan yang gagal mencerdaskan akal budi manusianya. Munculnya lembaga-lembaga bimbingan belajar di masyarakat adalah contoh kegagalan sekolah-sekolah dalam melaksanakan fungsi pembelajaran kepada para siswanya. Sedangkan maraknya penyelenggaraan pelatihan-pelatihan motivasi di masyarakat menandai adanya rasa ketidak-berdayaan dari sebagain besar golongan terpelajar yang minim bekal uji metal dan pengalaman praktik di alam kompetisi yang terbuka.
Pelatihan motivasi menjadi solusi pilihan bagi golongan intelektual muda dan calon profesional untuk mengembangkan diri. Beberapa motivator nasional terlaris seperti Ary Ginanjar Agustian dengan training ESQ (Emotional Spiritual Quotient), Erbe Setanu melalui Quantum Ikhlas, atau Dr. Rhenald Kasali yang meluncurkan Re-Code DNA (Deoxyribonuleic acid) itu pada dasarnya berbicara di seputar problem psikologis akut yang dihasilkan dari pendidikan yang tidak mencerahkan jiwa manusia merdeka . Setelah cukup lama sekolah-sekolah bebas dari fungsi utamanya dalam pembentukan karakter, maka tatanan sosial yang menjunjung nilai-nilai moral kejujuran, keberanian, keterbukaan, disiplin, ulet dan kerja keras terpinggirkan oleh praktik-praktik manipulasi, kebohongan, nepotisme, kolusi dan korupsi. Ketika nilai-nilai moral-spiritual ditanggalkan bukan saja membuat manusia terbelenggu dalam pesimisme dan inferiorisme, tetapi juga mandul dalam menggali potensi kreatifitasnya.
Dalam ESQ Ary Ginanjar Agustian menyebutkan beberapa langkah mulai dari upaya keras untuk penjernihan emosi, membangun mental, serta membentuk ketanggungan personal dan sosial. Senada dengan Erbe Sentanu yang menyarankan perlunya menumbuhkan sikap ikhlas yang akan membawa manusia menjadi sangat kuat, cerdas dan bijaksana. Sedangkan Rhenald Kasali dengan latar belakangnya sebagai pakar manajemen melihat dua pilar penting agar menjadi manusia bebas yang responsif terhadap perubahan, yaitu keterbukaan dalam cara berfikir dan memimpin. Keterbukaan yang dimaksud membutuhkan kesediaan untuk berinovasi, dialog, toleransi, kompetisi dan menerima kritik.
Apapun menu yang ditawarkan oleh beragam bisnis pelatihan sekarang ini substansinya adalah memberi solusi atas beban psikologis yang muncul karena ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusiawi antara akal dan budi, jasmani – ruhani, material – spiritual, teori – praktik, dan seterusnya. Segmen bisnis pelatihan pun kini berkembang hingga merambah pada anak usia dini. Belakangan muncul pelatihan aktifasi otak tengah yang bertujuan mengembangkan potensi kecerdasan dan kreatifitas anak-anak usia dini. Peserta pelatihan dijamin bisa membaca dengan mata tertutup dan berbagai kelebihan lain yang tidak diajarkan di sekolah.
Barangkali yang perlu dikritisi ialah booming bisnis pelatihan terjadi di tengah institusi sosial mulai dari sekolah, ormas, parpol, dan negara dihadapkan pada problem krisis kaderisasi dan regenerasi. Kenyataan ini menunjukkan tidak berfungsinya institusi-institusi formal dalam pembangunan karakter bangsa yang memiliki kualitas daya saing tinggi. Fungsi tersebut kemudian diambil alih oleh para kreator pelatihan motivasi.* (Matarindonews)
Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas
Sebuah pemikiran otokritis mencuat dalam forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Tengah dengan segenap pimpinan daerah, cabang dan ortom se eks-Karesidenan Pekalongan yang berlansung di Gedung Aisyiyah Kota Tegal. Salah satu narasumber dalam forum tersebut, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang Prof Dr Achmadi, mengkritisi terhadap Muhammadiyah yang tengah menghadapi masalah besar dalam kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan.
Pemikiran otokritis yang dilontarkan beberapa tahun lalu itu masih memiliki relevansi dengan masalah krusial yang dihadapi Muhammadiyah menjelang satu abad usianya. Menurut Achmadi, masalah besar yang menghadang dalam kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan terjadi karena proses tumbuh organisasi yang kurang mengakar ke bawah, sementara struktur organisasinya telah menjulang ke atas sehingga dikhawatirkan akan bisa roboh. Organisasi besar seperti Muhammadiyah digambarkan dalam kondisi kritis akan mengalami stagnasi karena macetnya kaderisasi dan regenerasi.
Apa yag menjadi kekhawatiran tersebut sesungguhnya membutuhkan solusi sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan oleh organisasi dengan struktur telah meraksasa dan terbebani banyak kepentingan sehingga sangat lamban dalam melakukan reformasi ataupun restrukturisasi. Dalam pemikiran Achmadi, solusi yang dimaksud adalah perlunya Muhammadiyah untuk membangun komunitas-komunitas dalam lingkup kecil di tingkat ranting dan cabang guna memperkokoh akar ke-Muhammadiyah-an semakin menghujam ke bawah.
Secara historis diingatkan, kelahiran Muhammadiyah yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan pada awalnya berangkat dari keinginan untuk memberdayakan dan membangun komunitas dalam lingkup kampung Kauman di Yogyakarta. Sejarah kelahiran Muhammadiyah yang diawali dari komunitas kecil kampung ini tampaknya dianggap kurang memiliki makna penting. Seluruh organ persyarikatan dihadapkan pada kebutuhan untuk menggerakan amal usaha yang memberikan kontribusi terhadap kegiatan dakwah secara pragmatis terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Perenungan miladiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah yang dilakukan rutin setiap tahun nyaris tidak menggugah kesadaran eksistensi Muhammadiyah yang lahir dari sejarah komunitas kampung. Sebaliknya, berbagai prestasi keberhasilan dalam akumulasi aset amal usaha yang membumbung sering menjadi tolok ukur utama seperti lembaga bisnis industrial. Sedangkan kesadaran akan jatidiri sebagai gerakan dakwah yang lahir, hidup dan bermanfaat dalam lingkungan komunitas kampung dirasakan kurang teraktulisasikan di tingkat struktur terendah persyarikatan yaitu peranan ranting-ranting sebagai akar yang akan memperkokoh Muhammadiyah.
Prestasi keberhasilan dalam amal usaha pendidikan dan kesehatan diakui sangat luar biasa. Muhammadiyah memiliki tidak kurang dari 170 lembaga perguruan tinggi dan puluhan rumah sakit serta ratusan poliklinik yang konon hampir mengimbangi kemampuan negara. Prestasi yang membanggakan itu menempatkan Muhammadiyah pada posisi teratas sebagai ormas Islam terbesar dalam amal usaha bagi pembangunan bangsa ini. Namun pandangan kritis melihat adanya problema yang mendasar di balik prestasi keberhasilan tersebut. Yakni, Muhammadiyah dibayangi oleh krisis kaderisasi dan regenerasi yang mengancam eksistesninya sebagai gerakan dakwah keumatan. Kenyataan menunjukkan subordinansi pendidikan persyarikatan sekadar melayani kebutuhan pasar pendidikan nasional yang cenderung berkiblat pada kepentingan kapitalisme industri pendidikan. Sesuatu yang tidak sejalan dengan gerakan dakwah rahmatan lil alamin.
Padangan kritis itu dimaksudkan agar badan amal usaha tidak mengubah kiblat sejarahnya sebagai sarana gerakan dakwah yang dilahirkan dari komunitas kampung. Kesadaran sejarah itu memiliki relevansi sosial dengan kondisi semakin melemahnya peranan ranting-ranting dan cabang dalam memperkokoh struktur gerakan dakwah persyarikatan. Peranan struktur terbawah persyarikatan kurang diperkuat sehingga mobilitas kader Muhammadiyah sering tanpa melalui kaderisasi di ranting-ranting. Rapuhnya struktur terbawah persyarikatan ini akan menjadikan Muhammadiyah kurang mengakar dan terputus dengan persoalan dakwah yang riil dihadapi umat.
Dengan demikian, tantangan badan amal usaha Muhammadiyah bukan hanya berkompetisi dengan bisnis kapitalisme industri yang profit sentris, tetapi juga harus mengemban misi dakwah untuk kemaslahatan umat. Problematika umat yang terkait dengan rendahnya askes terhadap pendidikan dan kesehatan banyak terjadi karena himpitan kemiskinan. Oleh karena itu, prestasi keberhasilan badan amal usaha pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah tidak boleh dilepaskan dari upaya-upaya mengatasi masalah kemiskinan yang menimpa umat. Dapatkah Muhammadiyah mempelopori sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang bermutu dengan biaya pendidikan yang bisa terjangkau oleh masyarakat miskin ? Demikian pula dengan pelayanan kesehatan, sudahkah masyarakat miskin cukup familiar dengan pelayanan kemanusiaan dari PKU ?
Badan amal usaha kesehatan milik persyarikatan harus terbebas dari praktik biaya tinggi karena mengejar pelayanan yang nyaman dengan kemewahan. Demikian pula badan amal usaha pendidikan persyarikatan tidak boleh bermegah-megahan dengan gedung sekolah atau kampus sekadar untuk pencitraan sebagai lembaga pendidikan yang telah bertaraf “go” internasional. Sebagai sektor yang strategis, pendidikan dan kesehatan merupakan medan yang penuh tantangan bagi gerakan dakwah Muhammadiyah. Kiblat kedua badan amal usaha ini harus tertuju pada kepentingan umat agar Muhammadiyah tidak terkesan semakin elitis.
Kesan elitis itu tidak jauh berbeda dengan pengandaian sebuah pohon besar yang semakin menjulang ke atas tetapi kurang mengakar ke bawah. Tumbuh kembang persyarikatan akan semakin kokoh apabila ditopang oleh struktur ranting dan cabang yang kuat. Di samping perlu memperbesar badan amal usahanya Muhammadiyah juga ditantang untuk mengokohkan keberadaan ranting-ranting dalam komunitas kampung. Kaderisasi di tingkat ranting-ranting perlu diintensifkan guna menghasilkan kader-kader militan yang berbasis pada komunitas kampung.
Proses demokrasi yang terus bergulir semakin membutuhkan penguatan peranserta masyarakat pedesaan untuk menopang kemandirian pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Muhammadiyah membutuhkan kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi dan kompetensi dalam mendorong masyarakat pedesaan yang semakin cerdas dan aktif. Dengan dasar pemikiran ini tampak relevansi dan urgensi persyarikatan untuk mencerdaskan gerakan dakwah berbasis komunitas dengan pemberdayaan fungsi ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)
Proses demokrasi yang terus bergulir semakin membutuhkan penguatan peranserta masyarakat pedesaan untuk menopang kemandirian pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Muhammadiyah membutuhkan kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi dan kompetensi dalam mendorong masyarakat pedesaan yang semakin cerdas dan aktif. Dengan dasar pemikiran ini tampak relevansi dan urgensi persyarikatan untuk mencerdaskan gerakan dakwah berbasis komunitas dengan pemberdayaan fungsi ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)
Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesiaan
Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah mengalami dinamika internal yang memerlukan pembenahan serius. Keterlambatan dan ketidaktepatan metode pembenahan akan mengakibatkan makin meluasnya problema internal organisasi.
Dalam Buletin MM Edisi No. 1/ Tahun ke I/ Muharram 1432 H, telah dilontarkan pemikiran perlunya mencari figur pemimpin yang kuat ditandai dengan sedikitnya memiliki tiga kemampuan sekaligus, yaitu kemandirian finansial, kecakapan manajerial dan keluasan intelektual. Namun fungsi kepemimpinan hanyalah satu dari kebutuhan mendesak yang perlu segera dibenahi agar persyarikatan tetap eksis menghadapi dinamika eksternal yang bersifat global.
Kebutuhan lain yang tak kalah mendesak adalah ketersediaan kader-kader militan yang menjadi motor organisasi agar Muhammadiyah tetap berada terdepan dalam medan dakwah. Masalah militansi kader dakwah tidak dapat dipisahkan dari spirit dan moralitas dengan aspek-aspek fundamental yang memperkokoh meliputi aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalah.
Problematika internal organisasi ditengarai terjadi karena mengendurnya militansi kader-kader dalam pergerakan persyarikatan. Dikhawatirkan problematika ini sampai pada titik kritis yang akan melemahkan sendi-sendi pergerakan dakwah persyarikatan. Pada titik di mana peransertanya semakin kurang diperhitungkan dalam mengokohkan negara bangsa Indonesia yang menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat.
Negara bangsa Indonesia merupakan medan dakwah yang telah turutserta dilahirkan oleh rahim perjuangan Muhammadiyah. Pelangi Indonesia memberikan warna-warni problematika sosiologis, psikologis dan politis yang sangat rumit dan memerlukan terapi canggih untuk merawatnya. Kader militan persyarikatan harus dapat menempatkan Muhammadiyah dalam posisi penting untuk menjaga dan merawat pelangi Indonesia supaya tetap indah di bumi nusantara.
Karunia Tuhan telah menganugerahkan alam nusantara yang kaya dan indah.Tapi, tangan-tangan manusia telah menjadikan negeri ini penuh paradoksal yang tak sedap dipandang mata. Di tengah kekayaan alam yang melimpah, jutaan rakyatnya menderita dalam kemiskinan. Di tengah masyarakatnya yang religius, merajalela pula praktik-praktik korupsi. Deretan paradoksal masyarakat Indonesia bisa lebih diperpanjang lagi. Semua itu akan memperjelas bahwa negeri ini merupakan medan dakwah yang menantang bagi kader-kader peryarikatan yang militan untuk ber -amar makruf nahi munkar dan ber- fastabiqul- khairat.
Dengan menyadari konteks keberadaannya di medan dakwah yang demikian menantang itu, maka kekokohan Muhammadiyah akan teruji oleh ketersediaan kader-kader pergerakan yang militan. Problematika internal yang melemahkan sendi-sendi organisasi terjadi bersamaan dengan mengendurnya militansi kader yang dihasilkan dari pola-pola kaderisasi yang cenderung stagnan dan pragmatis. Pragmatis dalam perkaderan terjadi karena orientasi pada pengembangan amal usaha untuk menopang kebutuhan finansial dakwah persyarikatan. Sedangkan stagnasi dalam perkaderan terjadi bersamaan dengan kuatnya pengaruh subordinasi negara sebagai akibat masuknya personaliti persyarikatan dari kalangan birokrasi.
Dalam realita dengan mudah disaksikan banyak keberhasilan persyarikatan dalam membangun amal usaha pendidikan dan kesehatan. Tapi, di tengah keberhasilan-keberhasilan pragmatis itu Muhammadiyah menghadapi problematika etis yang sulit untuk menyeimbangan antara kepentingan dakwah dan kuatnya pengaruh pragmatisme pasar. Terlebih lagi, ketika negara melakukan kapitalisasi dalam sektor pendidikan dan kesehatan yang telah menyeret amal usaha Muhammadiyah pun harus menghadapi pertarungan bisnis kedua sektor tersebut. Realita ini menandai kegagalan kita dalam merawat negara bangsa Indonesia yang seharusnya melindungi hak-hak rakyatnya untuk memperoleh pendidikan dan kesehatan. Di bawah pengaruh hegemoni pasar semakin sulit bagi penduduk miskin untuk memperoleh layanan dalam pendidikan dan kesehatan yang layak.
Di balik realita hegemoni pasar yang terjadi adalah melemahnya daya saing bangsa ini. Peranserta Muhammadiyah dalam menjaga dan merawat bumi nusantara pun terasa melemah seiring dengan dinamika internal persyarikatan yang mengancam eksistensinya. Ketika negara bangsa ini takluk di hadapan hegemoni pasar, maka kedaulatan dan harga diri kita sebagai bangsa tergadaikan. Kini saatnya kader-kader militan persyarikatan terpanggil nuraninya untuk menyelamatkan bangsa, agama dan negara dari pengaruh hegemoni pasar.
Implementasi di lapangan sangatlah sederhana. Tumbuhkan militansi kader melalui keteladanan para pemimpin dengan aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalah. Banyak pihak prihatin menyaksikan perilaku keseharian yang kurang amanah, tidak jujur, dan etos kerja rendah yang sangat menghambat bagi menggelorakan militansi kader dakwah di persyarikatan. Padahal, kita memiliki konsep militansi yang sangat tegas dengan inspirasi “jihad” di jalan Allah, seperti yang telah menggelorakan semangat para pejuang kemerdekaan dengan bambu runcingnya.
Jangan pernah melupakan sejarah. Karena dari sejarah pula kita ketahui bahwa Muhammadiyah telah melahirkan banyak kader militan yang berwawasan kebangsaan. Sekarang ini ibu pertiwi sangat merindukan keberadaan kader militan berwawasan keindonesiaan … *
Saefudin Abdurachim
Wakil Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
PD Muhammdiyah Brebes
Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang
Salah satu perilaku yang menciderai kehidupan masa kini adalah keputusasaan dan takut hidup tanpa memiliki uang yang banyak. Uang seolah sangat menentukan hidup matinya manusia modern.
Dua puluh empat jam sehari manusia dituntut mendapatkan uang agar bisa bertahan untuk memenuhi kebutuhan hidup. “Time is money” , artinya tak sedikitpun rela waktu dibiarkan tercecer sia-sia tanpa usaha untuk mendapatkan uang. Selama masih bernapas manusia berlomba-lomba memburu uang dan menimbunnya sebanyak mungkin.
Ketika uang yang ditimbun tiba-tiba merosot nilai tukarnya karena krisis moneter, maka dalam tempo singkat kekayaannya mengalami kebangkrutan. Seperti saat terjadi krisis moneter 1998 yang telah membuat banyak orang stres karena dipusingkan oleh simpanan rupiah yang nilainya terpuruk. Sebuah pengalaman yang mungkin dapat menyadarkan kita supaya tidak terlalu mendewakan uang, dengan menyikapinya secara bijak melalui langkah-langkah berikut.
Langkah pertama, kita segera sadar bahwa uang hanyalah alat tukar semata. Dalam sejarah sebelum manusia mengenal uang, seluruh kegiatan transaksi dilakukan melalui sistem barter yang sarat dengan prinsi-prinsip moral untuk menjaga harmoni sosial dalam masyarakat primitif. Kemudian dorongan untuk memiliki materi dan hasrat memenuhi kebutuhan konsumsi telah mengubah prinsip pertukaran untuk mencari keuntungan sehingga digunakan uang sebagai alat transaksi.
Sebagai alat transaksi, uang telah membuat sistem pertukaran dalam masyarakat modern kehilangan basis moral serta bersifat mekanis dan rasionalistik. Transaksi pertukaran menggunakan uang tak mampu menjaga kepentingan harmoni sosial dalam masyarakat modern. Karena apa saja yang mengandung nilai komoditas dapat diperdagangkan dengan menggunakan uang.
Langkah kedua, kita perlu membedakan antara bekerja dan berkarya sebagai modus operandi yang sama-sama menghasilkan uang. Bekerja adalah tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lebih bersifat biologis. Sedangkan berkarya itu lebih daripada sekadar bekerja karena di dalamnya mengandung nilai prestasi dan manfaat bagi orang lain. Seorang pengemis pun bekerja dengan mengharap derma, tetapi petani yang bercocok tanam itu berkarya untuk menghasilkan bahan pangan guna dijual ke pasar. Keduanya sama-sama mendapatkan uang, namun petani mendapatkannya dengan kepuasan batin yang tak ternilai.
Langkah ketiga, kita perlu menyadari bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur dengan uang semata. Sejatinya uang memang penting, tapi bukan uang yang menambah kebahagiaan. Kita sering mendengar keluarga orang kaya berantakan, banyak uang tapi tidak bahagia. Dengan uang semua kenikmatan mungkin dapat dibeli terkecuali nikmat kebahagiaan. Si miskin yang tidak memiliki cukup uang pun dapat menikmati senyum kebahagiaan tersendiri.
Langkah keempat, kita perlu banyak belajar dari orang kaya yang sukses. Orang kaya yang sukses adalah orang yang bahagia. Mereka bahagia bukan hanya karena memiliki banyak uang, tetapi juga ditentukan oleh sudut pandangnya yang benar dalam memaknai uang bagi kehidupannnya. Orang kaya yang bahagia memaknai tujuan mencari uang bukan sekadar mencapai target ambisinya memiliki lebih banyak harta, tetapi juga termasuk untuk aktualisasi diri. Mereka tidak menganggap uang sebagai solusi terhadap segala persoalan. Uang bagi mereka, ketika memilikinya dan saat kehilangan tidak terlalu berbeda. Yang utama adalah aktivitas yang dilakukan sehingga kemudian bisa memberi dampak yang menghasilkan uang.
Pada umumnya orang kaya mencari uang adalah suatu yang menggembirakan. Mereka melakukan berbagai aktivitas dalam rangka mencari uang dengan rasa gembira, menikmati apa yang dilakukannya. Sedikit atau banyak uang yang diperoleh dari aktivitas yang menggembirakan tentu memiliki makna yang memuaskan dirinya. Uang tetaplah sarana, sedangkan tujuannya adalah kebahagiaan yang memiliki nilai-nilai hakiki, sejati dan abadi. Mensyukuri adalah kunci utama solusi hidup bahagia. Insya’allah…(*)Matarindo News.
Langganan:
Postingan (Atom)