Selasa, 25 Januari 2011

Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas

Sebuah  pemikiran otokritis  mencuat dalam  forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Tengah dengan segenap pimpinan  daerah, cabang dan ortom se eks-Karesidenan Pekalongan  yang berlansung di Gedung  Aisyiyah Kota Tegal.  Salah satu narasumber dalam forum tersebut, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang  Prof Dr Achmadi,  mengkritisi  terhadap Muhammadiyah  yang tengah  menghadapi  masalah  besar dalam  kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan.
            Pemikiran  otokritis yang dilontarkan  beberapa  tahun lalu  itu masih  memiliki   relevansi   dengan  masalah  krusial  yang dihadapi Muhammadiyah  menjelang  satu abad usianya. Menurut Achmadi,  masalah  besar  yang menghadang  dalam kaderisasi  dan regenerasi  kepemimpinan  terjadi  karena  proses tumbuh organisasi  yang kurang  mengakar ke bawah, sementara  struktur organisasinya telah menjulang  ke atas sehingga  dikhawatirkan  akan bisa  roboh. Organisasi  besar seperti Muhammadiyah  digambarkan  dalam  kondisi kritis akan  mengalami stagnasi karena  macetnya  kaderisasi dan  regenerasi.
            Apa  yag menjadi kekhawatiran  tersebut sesungguhnya membutuhkan solusi sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan oleh organisasi dengan struktur telah  meraksasa dan terbebani  banyak  kepentingan  sehingga  sangat lamban  dalam  melakukan reformasi ataupun restrukturisasi.  Dalam  pemikiran Achmadi, solusi yang dimaksud  adalah  perlunya Muhammadiyah  untuk  membangun komunitas-komunitas  dalam lingkup kecil di tingkat ranting dan cabang  guna  memperkokoh  akar ke-Muhammadiyah-an semakin  menghujam  ke bawah.
Secara historis diingatkan,  kelahiran  Muhammadiyah yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan pada  awalnya  berangkat  dari keinginan untuk memberdayakan  dan membangun  komunitas  dalam lingkup kampung Kauman  di Yogyakarta. Sejarah  kelahiran Muhammadiyah  yang diawali dari  komunitas kecil kampung  ini tampaknya  dianggap kurang memiliki makna penting. Seluruh organ persyarikatan  dihadapkan pada  kebutuhan   untuk  menggerakan amal usaha  yang  memberikan kontribusi  terhadap  kegiatan dakwah  secara pragmatis  terutama  di bidang  pendidikan  dan kesehatan.
Perenungan  miladiyah  pada tanggal  8 Dzulhijjah  yang dilakukan  rutin  setiap tahun nyaris  tidak  menggugah  kesadaran  eksistensi Muhammadiyah  yang lahir dari  sejarah komunitas kampung. Sebaliknya,  berbagai prestasi keberhasilan  dalam akumulasi  aset amal usaha  yang  membumbung  sering  menjadi  tolok ukur utama seperti  lembaga bisnis industrial.  Sedangkan   kesadaran  akan jatidiri sebagai  gerakan  dakwah  yang lahir, hidup dan bermanfaat dalam lingkungan  komunitas kampung  dirasakan kurang  teraktulisasikan di tingkat struktur terendah  persyarikatan  yaitu  peranan ranting-ranting  sebagai  akar yang akan memperkokoh  Muhammadiyah.
Prestasi keberhasilan  dalam amal usaha  pendidikan dan kesehatan  diakui sangat luar  biasa. Muhammadiyah  memiliki tidak kurang  dari 170 lembaga perguruan tinggi dan  puluhan  rumah sakit  serta ratusan  poliklinik yang  konon  hampir  mengimbangi  kemampuan negara. Prestasi yang membanggakan itu menempatkan Muhammadiyah  pada posisi  teratas sebagai  ormas Islam  terbesar  dalam amal usaha  bagi  pembangunan  bangsa ini. Namun  pandangan kritis  melihat  adanya  problema yang mendasar  di  balik prestasi keberhasilan  tersebut.  Yakni,  Muhammadiyah dibayangi  oleh  krisis  kaderisasi dan regenerasi yang mengancam  eksistesninya sebagai gerakan dakwah keumatan. Kenyataan  menunjukkan subordinansi  pendidikan  persyarikatan  sekadar  melayani kebutuhan  pasar pendidikan  nasional   yang cenderung  berkiblat pada  kepentingan  kapitalisme  industri pendidikan. Sesuatu yang  tidak sejalan  dengan   gerakan  dakwah  rahmatan lil alamin.
 Padangan  kritis  itu  dimaksudkan  agar badan amal usaha  tidak  mengubah kiblat sejarahnya  sebagai  sarana  gerakan dakwah yang  dilahirkan  dari komunitas kampung.  Kesadaran  sejarah itu  memiliki relevansi sosial  dengan kondisi  semakin  melemahnya peranan  ranting-ranting dan cabang  dalam  memperkokoh struktur gerakan  dakwah persyarikatan.  Peranan  struktur terbawah  persyarikatan kurang diperkuat  sehingga  mobilitas  kader Muhammadiyah  sering  tanpa melalui  kaderisasi  di ranting-ranting. Rapuhnya  struktur  terbawah persyarikatan  ini  akan  menjadikan  Muhammadiyah  kurang  mengakar  dan  terputus dengan  persoalan  dakwah  yang riil  dihadapi umat.
Dengan demikian, tantangan  badan amal usaha Muhammadiyah bukan hanya   berkompetisi   dengan  bisnis  kapitalisme industri yang profit sentris, tetapi  juga  harus  mengemban  misi dakwah  untuk kemaslahatan umat. Problematika  umat  yang terkait dengan  rendahnya  askes  terhadap pendidikan  dan kesehatan  banyak  terjadi  karena  himpitan  kemiskinan. Oleh  karena  itu,  prestasi  keberhasilan badan amal usaha  pendidikan  dan kesehatan  Muhammadiyah  tidak  boleh dilepaskan  dari upaya-upaya  mengatasi masalah  kemiskinan  yang  menimpa umat.  Dapatkah  Muhammadiyah  mempelopori  sekolah-sekolah dan perguruan tinggi  yang bermutu  dengan  biaya  pendidikan yang bisa terjangkau oleh  masyarakat miskin ?  Demikian pula dengan  pelayanan  kesehatan,  sudahkah  masyarakat  miskin  cukup  familiar  dengan  pelayanan kemanusiaan  dari  PKU ? 
Badan amal usaha  kesehatan  milik persyarikatan  harus terbebas  dari  praktik biaya tinggi karena  mengejar pelayanan  yang nyaman dengan kemewahan.  Demikian   pula  badan amal usaha pendidikan  persyarikatan  tidak  boleh  bermegah-megahan   dengan  gedung sekolah atau kampus  sekadar  untuk  pencitraan sebagai lembaga  pendidikan  yang telah bertaraf “go” internasional.  Sebagai sektor yang strategis, pendidikan dan  kesehatan  merupakan  medan  yang  penuh tantangan   bagi gerakan  dakwah Muhammadiyah. Kiblat kedua badan  amal usaha ini  harus  tertuju pada kepentingan  umat   agar Muhammadiyah  tidak terkesan semakin  elitis.
Kesan  elitis itu tidak jauh berbeda dengan pengandaian  sebuah    pohon besar  yang semakin menjulang  ke atas   tetapi  kurang  mengakar ke bawah.  Tumbuh kembang  persyarikatan  akan semakin kokoh  apabila  ditopang oleh  struktur ranting dan cabang  yang  kuat.  Di samping  perlu  memperbesar  badan amal usahanya  Muhammadiyah  juga  ditantang  untuk  mengokohkan  keberadaan  ranting-ranting  dalam  komunitas  kampung. Kaderisasi di tingkat ranting-ranting   perlu diintensifkan guna  menghasilkan kader-kader  militan  yang  berbasis  pada komunitas  kampung.
Proses demokrasi  yang  terus  bergulir semakin  membutuhkan  penguatan  peranserta masyarakat  pedesaan   untuk  menopang  kemandirian  pembangunan dalam   pelaksanaan  otonomi daerah.  Muhammadiyah  membutuhkan  kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi  dan kompetensi  dalam  mendorong masyarakat pedesaan  yang semakin cerdas dan aktif.  Dengan  dasar pemikiran ini tampak  relevansi dan  urgensi   persyarikatan  untuk  mencerdaskan gerakan dakwah  berbasis komunitas  dengan  pemberdayaan  fungsi   ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar