Sebuah pemikiran otokritis mencuat dalam forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Tengah dengan segenap pimpinan daerah, cabang dan ortom se eks-Karesidenan Pekalongan yang berlansung di Gedung Aisyiyah Kota Tegal. Salah satu narasumber dalam forum tersebut, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang Prof Dr Achmadi, mengkritisi terhadap Muhammadiyah yang tengah menghadapi masalah besar dalam kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan.
Pemikiran otokritis yang dilontarkan beberapa tahun lalu itu masih memiliki relevansi dengan masalah krusial yang dihadapi Muhammadiyah menjelang satu abad usianya. Menurut Achmadi, masalah besar yang menghadang dalam kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan terjadi karena proses tumbuh organisasi yang kurang mengakar ke bawah, sementara struktur organisasinya telah menjulang ke atas sehingga dikhawatirkan akan bisa roboh. Organisasi besar seperti Muhammadiyah digambarkan dalam kondisi kritis akan mengalami stagnasi karena macetnya kaderisasi dan regenerasi.
Apa yag menjadi kekhawatiran tersebut sesungguhnya membutuhkan solusi sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan oleh organisasi dengan struktur telah meraksasa dan terbebani banyak kepentingan sehingga sangat lamban dalam melakukan reformasi ataupun restrukturisasi. Dalam pemikiran Achmadi, solusi yang dimaksud adalah perlunya Muhammadiyah untuk membangun komunitas-komunitas dalam lingkup kecil di tingkat ranting dan cabang guna memperkokoh akar ke-Muhammadiyah-an semakin menghujam ke bawah.
Secara historis diingatkan, kelahiran Muhammadiyah yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan pada awalnya berangkat dari keinginan untuk memberdayakan dan membangun komunitas dalam lingkup kampung Kauman di Yogyakarta. Sejarah kelahiran Muhammadiyah yang diawali dari komunitas kecil kampung ini tampaknya dianggap kurang memiliki makna penting. Seluruh organ persyarikatan dihadapkan pada kebutuhan untuk menggerakan amal usaha yang memberikan kontribusi terhadap kegiatan dakwah secara pragmatis terutama di bidang pendidikan dan kesehatan.
Perenungan miladiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah yang dilakukan rutin setiap tahun nyaris tidak menggugah kesadaran eksistensi Muhammadiyah yang lahir dari sejarah komunitas kampung. Sebaliknya, berbagai prestasi keberhasilan dalam akumulasi aset amal usaha yang membumbung sering menjadi tolok ukur utama seperti lembaga bisnis industrial. Sedangkan kesadaran akan jatidiri sebagai gerakan dakwah yang lahir, hidup dan bermanfaat dalam lingkungan komunitas kampung dirasakan kurang teraktulisasikan di tingkat struktur terendah persyarikatan yaitu peranan ranting-ranting sebagai akar yang akan memperkokoh Muhammadiyah.
Prestasi keberhasilan dalam amal usaha pendidikan dan kesehatan diakui sangat luar biasa. Muhammadiyah memiliki tidak kurang dari 170 lembaga perguruan tinggi dan puluhan rumah sakit serta ratusan poliklinik yang konon hampir mengimbangi kemampuan negara. Prestasi yang membanggakan itu menempatkan Muhammadiyah pada posisi teratas sebagai ormas Islam terbesar dalam amal usaha bagi pembangunan bangsa ini. Namun pandangan kritis melihat adanya problema yang mendasar di balik prestasi keberhasilan tersebut. Yakni, Muhammadiyah dibayangi oleh krisis kaderisasi dan regenerasi yang mengancam eksistesninya sebagai gerakan dakwah keumatan. Kenyataan menunjukkan subordinansi pendidikan persyarikatan sekadar melayani kebutuhan pasar pendidikan nasional yang cenderung berkiblat pada kepentingan kapitalisme industri pendidikan. Sesuatu yang tidak sejalan dengan gerakan dakwah rahmatan lil alamin.
Padangan kritis itu dimaksudkan agar badan amal usaha tidak mengubah kiblat sejarahnya sebagai sarana gerakan dakwah yang dilahirkan dari komunitas kampung. Kesadaran sejarah itu memiliki relevansi sosial dengan kondisi semakin melemahnya peranan ranting-ranting dan cabang dalam memperkokoh struktur gerakan dakwah persyarikatan. Peranan struktur terbawah persyarikatan kurang diperkuat sehingga mobilitas kader Muhammadiyah sering tanpa melalui kaderisasi di ranting-ranting. Rapuhnya struktur terbawah persyarikatan ini akan menjadikan Muhammadiyah kurang mengakar dan terputus dengan persoalan dakwah yang riil dihadapi umat.
Dengan demikian, tantangan badan amal usaha Muhammadiyah bukan hanya berkompetisi dengan bisnis kapitalisme industri yang profit sentris, tetapi juga harus mengemban misi dakwah untuk kemaslahatan umat. Problematika umat yang terkait dengan rendahnya askes terhadap pendidikan dan kesehatan banyak terjadi karena himpitan kemiskinan. Oleh karena itu, prestasi keberhasilan badan amal usaha pendidikan dan kesehatan Muhammadiyah tidak boleh dilepaskan dari upaya-upaya mengatasi masalah kemiskinan yang menimpa umat. Dapatkah Muhammadiyah mempelopori sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang bermutu dengan biaya pendidikan yang bisa terjangkau oleh masyarakat miskin ? Demikian pula dengan pelayanan kesehatan, sudahkah masyarakat miskin cukup familiar dengan pelayanan kemanusiaan dari PKU ?
Badan amal usaha kesehatan milik persyarikatan harus terbebas dari praktik biaya tinggi karena mengejar pelayanan yang nyaman dengan kemewahan. Demikian pula badan amal usaha pendidikan persyarikatan tidak boleh bermegah-megahan dengan gedung sekolah atau kampus sekadar untuk pencitraan sebagai lembaga pendidikan yang telah bertaraf “go” internasional. Sebagai sektor yang strategis, pendidikan dan kesehatan merupakan medan yang penuh tantangan bagi gerakan dakwah Muhammadiyah. Kiblat kedua badan amal usaha ini harus tertuju pada kepentingan umat agar Muhammadiyah tidak terkesan semakin elitis.
Kesan elitis itu tidak jauh berbeda dengan pengandaian sebuah pohon besar yang semakin menjulang ke atas tetapi kurang mengakar ke bawah. Tumbuh kembang persyarikatan akan semakin kokoh apabila ditopang oleh struktur ranting dan cabang yang kuat. Di samping perlu memperbesar badan amal usahanya Muhammadiyah juga ditantang untuk mengokohkan keberadaan ranting-ranting dalam komunitas kampung. Kaderisasi di tingkat ranting-ranting perlu diintensifkan guna menghasilkan kader-kader militan yang berbasis pada komunitas kampung.
Proses demokrasi yang terus bergulir semakin membutuhkan penguatan peranserta masyarakat pedesaan untuk menopang kemandirian pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Muhammadiyah membutuhkan kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi dan kompetensi dalam mendorong masyarakat pedesaan yang semakin cerdas dan aktif. Dengan dasar pemikiran ini tampak relevansi dan urgensi persyarikatan untuk mencerdaskan gerakan dakwah berbasis komunitas dengan pemberdayaan fungsi ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)
Proses demokrasi yang terus bergulir semakin membutuhkan penguatan peranserta masyarakat pedesaan untuk menopang kemandirian pembangunan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Muhammadiyah membutuhkan kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi dan kompetensi dalam mendorong masyarakat pedesaan yang semakin cerdas dan aktif. Dengan dasar pemikiran ini tampak relevansi dan urgensi persyarikatan untuk mencerdaskan gerakan dakwah berbasis komunitas dengan pemberdayaan fungsi ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar