Selasa, 25 Januari 2011

Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif


Pasca krisis moneter beberapa  tahun lalu,  di masyarakat  Indonesia tumbuh  harapan  untuk  bangkit  kembali dengan  membangun kepercayaan diri.  Harapan  masyarakat  itu  memberi peluang terbuka  bagi berkembangnya industri jasa  berbagai pelatihan  untuk pengembangan  kualitas sumberdaya  manusia. Beberapa  motivator  sukses  mendulang  rupiah  dengan  menggelar training-training  untuk  pengembangan  diri menjadi  pribadi yang cerdas dan kreatif.
Fenomena  booming  industri pelatihan  ini menjadi cerminan atas realita  sosial  yang  retak akibat  sistem  nasional  di masa  lalu yang sentralistis dan materialistis.  Di bawah pengaruh sistem masa lalu  bangsa ini  terperangkap  dalam  berbagai tekanan  tanpa kebebasan  yang  melemahkan kepercayaan  diri dan kreatifitasnya . Proses  kaderisasi dalam  berbagai kelembagaan  masyarakat   berjalan tidak efektif di bawah  kontrol politik  yang  anti demokrasi. Dampak  totalitasnya  adalah  daya saing  kita  sebagai bangsa  menjadi sangat lemah.
Daya saing  bangsa ini yang utama  dan terutama bukan karena sumberdaya alamnya, tetapi lebih ditentukan  oleh  kualitas sumberdaya manusianya.  Krisis moneter tanpa  ketangguhan sumberdaya manusia untuk mengatasinya terbukti telah  menjadikan  bangsa ini sekian lama terpuruk  dalam  krisis yang  bersifat multidimensi. Beberapa bencana  dan musibah  yang silih berganti seolah melengkapi penderitaan  bangsa  yang lemah dalam kualitas sumberdaya manusianya.
Kualitas  sumberdaya manusia  terkait  dengan  output  pendidikan  dalam suatu  negara. Dalam realita, sistem pendidikan  nasional yang karut marut  menjadikan  output yang dihasilkan  belum  memberi  solusi  bagi  bangsa  ini. Meningkatnya populasi perguruan tinggi misalnya, ternyata   tidak diikuti dengan  tradisi keilmuan yang  semakin baik, terbukti  masih kuatnya  orientasi  masyarakat  sekadar untuk  mengejar  status akademik atau gelar kesarjanaan.  Kesenjangan antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan  jumlah sarjana   yang menganggur  dapat  berpengaruh pada rendahnya   rasa  kepercayaan  diri   generasi muda  untuk  belajar keras dengan meraih prestasi akademik tertinggi.
Pada  awalnya rasa  kurang percaya  diri  hanyalah   problem psikologis, tetapi  kemudian meluas  menjadi problem sosial  yang diransfer melalui  sistem pendidikan yang  gagal mencerdaskan  akal budi manusianya.    Munculnya  lembaga-lembaga  bimbingan  belajar  di masyarakat  adalah  contoh kegagalan  sekolah-sekolah  dalam   melaksanakan fungsi  pembelajaran kepada  para siswanya.  Sedangkan maraknya  penyelenggaraan  pelatihan-pelatihan  motivasi   di masyarakat   menandai  adanya  rasa ketidak-berdayaan  dari sebagain  besar  golongan  terpelajar yang  minim bekal uji metal dan  pengalaman  praktik  di alam kompetisi  yang terbuka.   
Pelatihan  motivasi  menjadi solusi pilihan  bagi  golongan  intelektual muda  dan calon profesional  untuk  mengembangkan diri.  Beberapa  motivator  nasional terlaris seperti Ary Ginanjar Agustian  dengan training   ESQ  (Emotional Spiritual Quotient),  Erbe  Setanu   melalui Quantum Ikhlas, atau  Dr. Rhenald Kasali yang meluncurkan  Re-Code DNA (Deoxyribonuleic  acid)   itu  pada  dasarnya  berbicara  di seputar  problem psikologis  akut  yang dihasilkan  dari  pendidikan  yang  tidak mencerahkan jiwa   manusia merdeka . Setelah  cukup  lama  sekolah-sekolah  bebas  dari fungsi utamanya  dalam   pembentukan  karakter,  maka  tatanan sosial yang  menjunjung  nilai-nilai  moral kejujuran, keberanian,  keterbukaan,  disiplin,  ulet  dan kerja keras   terpinggirkan oleh  praktik-praktik  manipulasi,  kebohongan, nepotisme, kolusi dan korupsi. Ketika  nilai-nilai moral-spiritual ditanggalkan  bukan saja  membuat manusia terbelenggu  dalam  pesimisme dan inferiorisme,  tetapi juga  mandul  dalam  menggali potensi kreatifitasnya.
Dalam  ESQ Ary Ginanjar Agustian  menyebutkan  beberapa langkah mulai dari  upaya  keras  untuk   penjernihan emosi, membangun mental, serta  membentuk ketanggungan  personal   dan  sosial.  Senada  dengan Erbe Sentanu  yang menyarankan  perlunya  menumbuhkan sikap ikhlas  yang  akan membawa manusia  menjadi  sangat kuat,  cerdas dan bijaksana. Sedangkan  Rhenald  Kasali  dengan  latar belakangnya  sebagai pakar manajemen  melihat dua  pilar penting  agar menjadi manusia bebas yang responsif  terhadap perubahan, yaitu  keterbukaan  dalam cara  berfikir dan  memimpin. Keterbukaan  yang dimaksud  membutuhkan  kesediaan  untuk  berinovasi, dialog,  toleransi, kompetisi dan  menerima  kritik.
Apapun menu  yang ditawarkan  oleh  beragam    bisnis  pelatihan sekarang  ini   substansinya  adalah   memberi  solusi atas beban  psikologis yang muncul karena  ketidakseimbangan  dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan   manusiawi  antara   akal dan budi,  jasmani – ruhani,  material – spiritual,  teori – praktik, dan  seterusnya. Segmen bisnis pelatihan   pun kini berkembang  hingga  merambah pada  anak usia  dini. Belakangan  muncul  pelatihan aktifasi otak  tengah  yang bertujuan mengembangkan  potensi kecerdasan  dan kreatifitas  anak-anak  usia dini.  Peserta pelatihan dijamin bisa membaca dengan  mata tertutup   dan berbagai kelebihan lain yang tidak  diajarkan di sekolah.  
Barangkali   yang perlu dikritisi  ialah booming bisnis  pelatihan  terjadi  di tengah institusi sosial mulai  dari sekolah,  ormas,  parpol, dan negara  dihadapkan pada  problem krisis kaderisasi dan regenerasi.  Kenyataan  ini menunjukkan  tidak berfungsinya institusi-institusi formal  dalam  pembangunan  karakter bangsa  yang  memiliki kualitas daya  saing  tinggi.  Fungsi tersebut kemudian  diambil alih  oleh  para kreator pelatihan motivasi.* (Matarindonews)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar