Pasca krisis moneter beberapa tahun lalu, di masyarakat Indonesia tumbuh harapan untuk bangkit kembali dengan membangun kepercayaan diri. Harapan masyarakat itu memberi peluang terbuka bagi berkembangnya industri jasa berbagai pelatihan untuk pengembangan kualitas sumberdaya manusia. Beberapa motivator sukses mendulang rupiah dengan menggelar training-training untuk pengembangan diri menjadi pribadi yang cerdas dan kreatif.
Fenomena booming industri pelatihan ini menjadi cerminan atas realita sosial yang retak akibat sistem nasional di masa lalu yang sentralistis dan materialistis. Di bawah pengaruh sistem masa lalu bangsa ini terperangkap dalam berbagai tekanan tanpa kebebasan yang melemahkan kepercayaan diri dan kreatifitasnya . Proses kaderisasi dalam berbagai kelembagaan masyarakat berjalan tidak efektif di bawah kontrol politik yang anti demokrasi. Dampak totalitasnya adalah daya saing kita sebagai bangsa menjadi sangat lemah.
Daya saing bangsa ini yang utama dan terutama bukan karena sumberdaya alamnya, tetapi lebih ditentukan oleh kualitas sumberdaya manusianya. Krisis moneter tanpa ketangguhan sumberdaya manusia untuk mengatasinya terbukti telah menjadikan bangsa ini sekian lama terpuruk dalam krisis yang bersifat multidimensi. Beberapa bencana dan musibah yang silih berganti seolah melengkapi penderitaan bangsa yang lemah dalam kualitas sumberdaya manusianya.
Kualitas sumberdaya manusia terkait dengan output pendidikan dalam suatu negara. Dalam realita, sistem pendidikan nasional yang karut marut menjadikan output yang dihasilkan belum memberi solusi bagi bangsa ini. Meningkatnya populasi perguruan tinggi misalnya, ternyata tidak diikuti dengan tradisi keilmuan yang semakin baik, terbukti masih kuatnya orientasi masyarakat sekadar untuk mengejar status akademik atau gelar kesarjanaan. Kesenjangan antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan jumlah sarjana yang menganggur dapat berpengaruh pada rendahnya rasa kepercayaan diri generasi muda untuk belajar keras dengan meraih prestasi akademik tertinggi.
Pada awalnya rasa kurang percaya diri hanyalah problem psikologis, tetapi kemudian meluas menjadi problem sosial yang diransfer melalui sistem pendidikan yang gagal mencerdaskan akal budi manusianya. Munculnya lembaga-lembaga bimbingan belajar di masyarakat adalah contoh kegagalan sekolah-sekolah dalam melaksanakan fungsi pembelajaran kepada para siswanya. Sedangkan maraknya penyelenggaraan pelatihan-pelatihan motivasi di masyarakat menandai adanya rasa ketidak-berdayaan dari sebagain besar golongan terpelajar yang minim bekal uji metal dan pengalaman praktik di alam kompetisi yang terbuka.
Pelatihan motivasi menjadi solusi pilihan bagi golongan intelektual muda dan calon profesional untuk mengembangkan diri. Beberapa motivator nasional terlaris seperti Ary Ginanjar Agustian dengan training ESQ (Emotional Spiritual Quotient), Erbe Setanu melalui Quantum Ikhlas, atau Dr. Rhenald Kasali yang meluncurkan Re-Code DNA (Deoxyribonuleic acid) itu pada dasarnya berbicara di seputar problem psikologis akut yang dihasilkan dari pendidikan yang tidak mencerahkan jiwa manusia merdeka . Setelah cukup lama sekolah-sekolah bebas dari fungsi utamanya dalam pembentukan karakter, maka tatanan sosial yang menjunjung nilai-nilai moral kejujuran, keberanian, keterbukaan, disiplin, ulet dan kerja keras terpinggirkan oleh praktik-praktik manipulasi, kebohongan, nepotisme, kolusi dan korupsi. Ketika nilai-nilai moral-spiritual ditanggalkan bukan saja membuat manusia terbelenggu dalam pesimisme dan inferiorisme, tetapi juga mandul dalam menggali potensi kreatifitasnya.
Dalam ESQ Ary Ginanjar Agustian menyebutkan beberapa langkah mulai dari upaya keras untuk penjernihan emosi, membangun mental, serta membentuk ketanggungan personal dan sosial. Senada dengan Erbe Sentanu yang menyarankan perlunya menumbuhkan sikap ikhlas yang akan membawa manusia menjadi sangat kuat, cerdas dan bijaksana. Sedangkan Rhenald Kasali dengan latar belakangnya sebagai pakar manajemen melihat dua pilar penting agar menjadi manusia bebas yang responsif terhadap perubahan, yaitu keterbukaan dalam cara berfikir dan memimpin. Keterbukaan yang dimaksud membutuhkan kesediaan untuk berinovasi, dialog, toleransi, kompetisi dan menerima kritik.
Apapun menu yang ditawarkan oleh beragam bisnis pelatihan sekarang ini substansinya adalah memberi solusi atas beban psikologis yang muncul karena ketidakseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusiawi antara akal dan budi, jasmani – ruhani, material – spiritual, teori – praktik, dan seterusnya. Segmen bisnis pelatihan pun kini berkembang hingga merambah pada anak usia dini. Belakangan muncul pelatihan aktifasi otak tengah yang bertujuan mengembangkan potensi kecerdasan dan kreatifitas anak-anak usia dini. Peserta pelatihan dijamin bisa membaca dengan mata tertutup dan berbagai kelebihan lain yang tidak diajarkan di sekolah.
Barangkali yang perlu dikritisi ialah booming bisnis pelatihan terjadi di tengah institusi sosial mulai dari sekolah, ormas, parpol, dan negara dihadapkan pada problem krisis kaderisasi dan regenerasi. Kenyataan ini menunjukkan tidak berfungsinya institusi-institusi formal dalam pembangunan karakter bangsa yang memiliki kualitas daya saing tinggi. Fungsi tersebut kemudian diambil alih oleh para kreator pelatihan motivasi.* (Matarindonews)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar