Selasa, 25 Januari 2011

Brebes_Share: Revitalisasi Gerakan Memperkokoh Komitmen Bermuham...

LOGO MUHAMMADIYAH
Brebes_Share: Revitalisasi Gerakan Memperkokoh Komitmen Bermuham...: "Menjelang Usia hampir 100 tahun, Muhammadiyah mengalami dinamika internal yang meme..."

Brebes_Share: Mencari Figur Pemimpin yang Kuat Kemandirian Fi...

Brebes_Share: Mencari Figur Pemimpin yang Kuat Kemandirian Fi...: "Siapapun yang terpilih menjadi orang nomor satu di jajaran Pimpin..."

Brebes_Share: Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif...

Brebes_Share: Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif...: "Pasca krisis moneter beberapa tahun lalu, di masyarakat Indonesia tumbuh hara..."

Brebes_Share: Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas

Brebes_Share: Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas: "Sebuah pemikiran otokritis mencuat dalam forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah..."

Brebes_Share: Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesi...

Brebes_Share: Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesi...: "Menjelang usia satu abad, Muhammadiyah mengalami dinamika internal&nbsp..."

Brebes_Share: Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang

Brebes_Share: Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang: "Salah satu perilaku yang menciderai kehidupan masa kini adalah keputusasaan d..."

Berbagai Pelatihan untuk Menjadi Cerdas & Kreatif


Pasca krisis moneter beberapa  tahun lalu,  di masyarakat  Indonesia tumbuh  harapan  untuk  bangkit  kembali dengan  membangun kepercayaan diri.  Harapan  masyarakat  itu  memberi peluang terbuka  bagi berkembangnya industri jasa  berbagai pelatihan  untuk pengembangan  kualitas sumberdaya  manusia. Beberapa  motivator  sukses  mendulang  rupiah  dengan  menggelar training-training  untuk  pengembangan  diri menjadi  pribadi yang cerdas dan kreatif.
Fenomena  booming  industri pelatihan  ini menjadi cerminan atas realita  sosial  yang  retak akibat  sistem  nasional  di masa  lalu yang sentralistis dan materialistis.  Di bawah pengaruh sistem masa lalu  bangsa ini  terperangkap  dalam  berbagai tekanan  tanpa kebebasan  yang  melemahkan kepercayaan  diri dan kreatifitasnya . Proses  kaderisasi dalam  berbagai kelembagaan  masyarakat   berjalan tidak efektif di bawah  kontrol politik  yang  anti demokrasi. Dampak  totalitasnya  adalah  daya saing  kita  sebagai bangsa  menjadi sangat lemah.
Daya saing  bangsa ini yang utama  dan terutama bukan karena sumberdaya alamnya, tetapi lebih ditentukan  oleh  kualitas sumberdaya manusianya.  Krisis moneter tanpa  ketangguhan sumberdaya manusia untuk mengatasinya terbukti telah  menjadikan  bangsa ini sekian lama terpuruk  dalam  krisis yang  bersifat multidimensi. Beberapa bencana  dan musibah  yang silih berganti seolah melengkapi penderitaan  bangsa  yang lemah dalam kualitas sumberdaya manusianya.
Kualitas  sumberdaya manusia  terkait  dengan  output  pendidikan  dalam suatu  negara. Dalam realita, sistem pendidikan  nasional yang karut marut  menjadikan  output yang dihasilkan  belum  memberi  solusi  bagi  bangsa  ini. Meningkatnya populasi perguruan tinggi misalnya, ternyata   tidak diikuti dengan  tradisi keilmuan yang  semakin baik, terbukti  masih kuatnya  orientasi  masyarakat  sekadar untuk  mengejar  status akademik atau gelar kesarjanaan.  Kesenjangan antara kebutuhan pasar tenaga kerja dan  jumlah sarjana   yang menganggur  dapat  berpengaruh pada rendahnya   rasa  kepercayaan  diri   generasi muda  untuk  belajar keras dengan meraih prestasi akademik tertinggi.
Pada  awalnya rasa  kurang percaya  diri  hanyalah   problem psikologis, tetapi  kemudian meluas  menjadi problem sosial  yang diransfer melalui  sistem pendidikan yang  gagal mencerdaskan  akal budi manusianya.    Munculnya  lembaga-lembaga  bimbingan  belajar  di masyarakat  adalah  contoh kegagalan  sekolah-sekolah  dalam   melaksanakan fungsi  pembelajaran kepada  para siswanya.  Sedangkan maraknya  penyelenggaraan  pelatihan-pelatihan  motivasi   di masyarakat   menandai  adanya  rasa ketidak-berdayaan  dari sebagain  besar  golongan  terpelajar yang  minim bekal uji metal dan  pengalaman  praktik  di alam kompetisi  yang terbuka.   
Pelatihan  motivasi  menjadi solusi pilihan  bagi  golongan  intelektual muda  dan calon profesional  untuk  mengembangkan diri.  Beberapa  motivator  nasional terlaris seperti Ary Ginanjar Agustian  dengan training   ESQ  (Emotional Spiritual Quotient),  Erbe  Setanu   melalui Quantum Ikhlas, atau  Dr. Rhenald Kasali yang meluncurkan  Re-Code DNA (Deoxyribonuleic  acid)   itu  pada  dasarnya  berbicara  di seputar  problem psikologis  akut  yang dihasilkan  dari  pendidikan  yang  tidak mencerahkan jiwa   manusia merdeka . Setelah  cukup  lama  sekolah-sekolah  bebas  dari fungsi utamanya  dalam   pembentukan  karakter,  maka  tatanan sosial yang  menjunjung  nilai-nilai  moral kejujuran, keberanian,  keterbukaan,  disiplin,  ulet  dan kerja keras   terpinggirkan oleh  praktik-praktik  manipulasi,  kebohongan, nepotisme, kolusi dan korupsi. Ketika  nilai-nilai moral-spiritual ditanggalkan  bukan saja  membuat manusia terbelenggu  dalam  pesimisme dan inferiorisme,  tetapi juga  mandul  dalam  menggali potensi kreatifitasnya.
Dalam  ESQ Ary Ginanjar Agustian  menyebutkan  beberapa langkah mulai dari  upaya  keras  untuk   penjernihan emosi, membangun mental, serta  membentuk ketanggungan  personal   dan  sosial.  Senada  dengan Erbe Sentanu  yang menyarankan  perlunya  menumbuhkan sikap ikhlas  yang  akan membawa manusia  menjadi  sangat kuat,  cerdas dan bijaksana. Sedangkan  Rhenald  Kasali  dengan  latar belakangnya  sebagai pakar manajemen  melihat dua  pilar penting  agar menjadi manusia bebas yang responsif  terhadap perubahan, yaitu  keterbukaan  dalam cara  berfikir dan  memimpin. Keterbukaan  yang dimaksud  membutuhkan  kesediaan  untuk  berinovasi, dialog,  toleransi, kompetisi dan  menerima  kritik.
Apapun menu  yang ditawarkan  oleh  beragam    bisnis  pelatihan sekarang  ini   substansinya  adalah   memberi  solusi atas beban  psikologis yang muncul karena  ketidakseimbangan  dalam pemenuhan kebutuhan-kebutuhan   manusiawi  antara   akal dan budi,  jasmani – ruhani,  material – spiritual,  teori – praktik, dan  seterusnya. Segmen bisnis pelatihan   pun kini berkembang  hingga  merambah pada  anak usia  dini. Belakangan  muncul  pelatihan aktifasi otak  tengah  yang bertujuan mengembangkan  potensi kecerdasan  dan kreatifitas  anak-anak  usia dini.  Peserta pelatihan dijamin bisa membaca dengan  mata tertutup   dan berbagai kelebihan lain yang tidak  diajarkan di sekolah.  
Barangkali   yang perlu dikritisi  ialah booming bisnis  pelatihan  terjadi  di tengah institusi sosial mulai  dari sekolah,  ormas,  parpol, dan negara  dihadapkan pada  problem krisis kaderisasi dan regenerasi.  Kenyataan  ini menunjukkan  tidak berfungsinya institusi-institusi formal  dalam  pembangunan  karakter bangsa  yang  memiliki kualitas daya  saing  tinggi.  Fungsi tersebut kemudian  diambil alih  oleh  para kreator pelatihan motivasi.* (Matarindonews)

Mencerdaskan Gerakan Dakwah Berbasis Komunitas

Sebuah  pemikiran otokritis  mencuat dalam  forum silaturahim Pimpinan Wilayah Muhamamdiyah Jawa Tengah dengan segenap pimpinan  daerah, cabang dan ortom se eks-Karesidenan Pekalongan  yang berlansung di Gedung  Aisyiyah Kota Tegal.  Salah satu narasumber dalam forum tersebut, Rektor Universitas Muhammadiyah Magelang  Prof Dr Achmadi,  mengkritisi  terhadap Muhammadiyah  yang tengah  menghadapi  masalah  besar dalam  kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan.
            Pemikiran  otokritis yang dilontarkan  beberapa  tahun lalu  itu masih  memiliki   relevansi   dengan  masalah  krusial  yang dihadapi Muhammadiyah  menjelang  satu abad usianya. Menurut Achmadi,  masalah  besar  yang menghadang  dalam kaderisasi  dan regenerasi  kepemimpinan  terjadi  karena  proses tumbuh organisasi  yang kurang  mengakar ke bawah, sementara  struktur organisasinya telah menjulang  ke atas sehingga  dikhawatirkan  akan bisa  roboh. Organisasi  besar seperti Muhammadiyah  digambarkan  dalam  kondisi kritis akan  mengalami stagnasi karena  macetnya  kaderisasi dan  regenerasi.
            Apa  yag menjadi kekhawatiran  tersebut sesungguhnya membutuhkan solusi sederhana, tetapi tidak mudah dilakukan oleh organisasi dengan struktur telah  meraksasa dan terbebani  banyak  kepentingan  sehingga  sangat lamban  dalam  melakukan reformasi ataupun restrukturisasi.  Dalam  pemikiran Achmadi, solusi yang dimaksud  adalah  perlunya Muhammadiyah  untuk  membangun komunitas-komunitas  dalam lingkup kecil di tingkat ranting dan cabang  guna  memperkokoh  akar ke-Muhammadiyah-an semakin  menghujam  ke bawah.
Secara historis diingatkan,  kelahiran  Muhammadiyah yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan pada  awalnya  berangkat  dari keinginan untuk memberdayakan  dan membangun  komunitas  dalam lingkup kampung Kauman  di Yogyakarta. Sejarah  kelahiran Muhammadiyah  yang diawali dari  komunitas kecil kampung  ini tampaknya  dianggap kurang memiliki makna penting. Seluruh organ persyarikatan  dihadapkan pada  kebutuhan   untuk  menggerakan amal usaha  yang  memberikan kontribusi  terhadap  kegiatan dakwah  secara pragmatis  terutama  di bidang  pendidikan  dan kesehatan.
Perenungan  miladiyah  pada tanggal  8 Dzulhijjah  yang dilakukan  rutin  setiap tahun nyaris  tidak  menggugah  kesadaran  eksistensi Muhammadiyah  yang lahir dari  sejarah komunitas kampung. Sebaliknya,  berbagai prestasi keberhasilan  dalam akumulasi  aset amal usaha  yang  membumbung  sering  menjadi  tolok ukur utama seperti  lembaga bisnis industrial.  Sedangkan   kesadaran  akan jatidiri sebagai  gerakan  dakwah  yang lahir, hidup dan bermanfaat dalam lingkungan  komunitas kampung  dirasakan kurang  teraktulisasikan di tingkat struktur terendah  persyarikatan  yaitu  peranan ranting-ranting  sebagai  akar yang akan memperkokoh  Muhammadiyah.
Prestasi keberhasilan  dalam amal usaha  pendidikan dan kesehatan  diakui sangat luar  biasa. Muhammadiyah  memiliki tidak kurang  dari 170 lembaga perguruan tinggi dan  puluhan  rumah sakit  serta ratusan  poliklinik yang  konon  hampir  mengimbangi  kemampuan negara. Prestasi yang membanggakan itu menempatkan Muhammadiyah  pada posisi  teratas sebagai  ormas Islam  terbesar  dalam amal usaha  bagi  pembangunan  bangsa ini. Namun  pandangan kritis  melihat  adanya  problema yang mendasar  di  balik prestasi keberhasilan  tersebut.  Yakni,  Muhammadiyah dibayangi  oleh  krisis  kaderisasi dan regenerasi yang mengancam  eksistesninya sebagai gerakan dakwah keumatan. Kenyataan  menunjukkan subordinansi  pendidikan  persyarikatan  sekadar  melayani kebutuhan  pasar pendidikan  nasional   yang cenderung  berkiblat pada  kepentingan  kapitalisme  industri pendidikan. Sesuatu yang  tidak sejalan  dengan   gerakan  dakwah  rahmatan lil alamin.
 Padangan  kritis  itu  dimaksudkan  agar badan amal usaha  tidak  mengubah kiblat sejarahnya  sebagai  sarana  gerakan dakwah yang  dilahirkan  dari komunitas kampung.  Kesadaran  sejarah itu  memiliki relevansi sosial  dengan kondisi  semakin  melemahnya peranan  ranting-ranting dan cabang  dalam  memperkokoh struktur gerakan  dakwah persyarikatan.  Peranan  struktur terbawah  persyarikatan kurang diperkuat  sehingga  mobilitas  kader Muhammadiyah  sering  tanpa melalui  kaderisasi  di ranting-ranting. Rapuhnya  struktur  terbawah persyarikatan  ini  akan  menjadikan  Muhammadiyah  kurang  mengakar  dan  terputus dengan  persoalan  dakwah  yang riil  dihadapi umat.
Dengan demikian, tantangan  badan amal usaha Muhammadiyah bukan hanya   berkompetisi   dengan  bisnis  kapitalisme industri yang profit sentris, tetapi  juga  harus  mengemban  misi dakwah  untuk kemaslahatan umat. Problematika  umat  yang terkait dengan  rendahnya  askes  terhadap pendidikan  dan kesehatan  banyak  terjadi  karena  himpitan  kemiskinan. Oleh  karena  itu,  prestasi  keberhasilan badan amal usaha  pendidikan  dan kesehatan  Muhammadiyah  tidak  boleh dilepaskan  dari upaya-upaya  mengatasi masalah  kemiskinan  yang  menimpa umat.  Dapatkah  Muhammadiyah  mempelopori  sekolah-sekolah dan perguruan tinggi  yang bermutu  dengan  biaya  pendidikan yang bisa terjangkau oleh  masyarakat miskin ?  Demikian pula dengan  pelayanan  kesehatan,  sudahkah  masyarakat  miskin  cukup  familiar  dengan  pelayanan kemanusiaan  dari  PKU ? 
Badan amal usaha  kesehatan  milik persyarikatan  harus terbebas  dari  praktik biaya tinggi karena  mengejar pelayanan  yang nyaman dengan kemewahan.  Demikian   pula  badan amal usaha pendidikan  persyarikatan  tidak  boleh  bermegah-megahan   dengan  gedung sekolah atau kampus  sekadar  untuk  pencitraan sebagai lembaga  pendidikan  yang telah bertaraf “go” internasional.  Sebagai sektor yang strategis, pendidikan dan  kesehatan  merupakan  medan  yang  penuh tantangan   bagi gerakan  dakwah Muhammadiyah. Kiblat kedua badan  amal usaha ini  harus  tertuju pada kepentingan  umat   agar Muhammadiyah  tidak terkesan semakin  elitis.
Kesan  elitis itu tidak jauh berbeda dengan pengandaian  sebuah    pohon besar  yang semakin menjulang  ke atas   tetapi  kurang  mengakar ke bawah.  Tumbuh kembang  persyarikatan  akan semakin kokoh  apabila  ditopang oleh  struktur ranting dan cabang  yang  kuat.  Di samping  perlu  memperbesar  badan amal usahanya  Muhammadiyah  juga  ditantang  untuk  mengokohkan  keberadaan  ranting-ranting  dalam  komunitas  kampung. Kaderisasi di tingkat ranting-ranting   perlu diintensifkan guna  menghasilkan kader-kader  militan  yang  berbasis  pada komunitas  kampung.
Proses demokrasi  yang  terus  bergulir semakin  membutuhkan  penguatan  peranserta masyarakat  pedesaan   untuk  menopang  kemandirian  pembangunan dalam   pelaksanaan  otonomi daerah.  Muhammadiyah  membutuhkan  kader-kader di tingkat ranting dan cabang yang memiliki militansi  dan kompetensi  dalam  mendorong masyarakat pedesaan  yang semakin cerdas dan aktif.  Dengan  dasar pemikiran ini tampak  relevansi dan  urgensi   persyarikatan  untuk  mencerdaskan gerakan dakwah  berbasis komunitas  dengan  pemberdayaan  fungsi   ranting dan cabang sebagai ujung tombaknya. (*)

Merindukan Militansi Kader Berwawasan Keindonesiaan


Menjelang usia  satu abad,  Muhammadiyah  mengalami  dinamika  internal  yang memerlukan  pembenahan serius. Keterlambatan dan ketidaktepatan  metode pembenahan akan mengakibatkan  makin meluasnya problema internal organisasi.

            Dalam  Buletin MM Edisi No. 1/ Tahun ke I/ Muharram 1432 H, telah dilontarkan  pemikiran  perlunya mencari figur pemimpin yang kuat ditandai dengan sedikitnya  memiliki tiga  kemampuan sekaligus, yaitu kemandirian finansial, kecakapan manajerial dan  keluasan  intelektual.  Namun  fungsi  kepemimpinan  hanyalah  satu  dari kebutuhan  mendesak  yang perlu segera dibenahi agar persyarikatan  tetap eksis  menghadapi dinamika  eksternal  yang  bersifat global.
Kebutuhan lain  yang tak kalah mendesak  adalah  ketersediaan  kader-kader militan yang menjadi  motor  organisasi  agar  Muhammadiyah  tetap  berada terdepan  dalam medan  dakwah.  Masalah  militansi  kader  dakwah tidak  dapat  dipisahkan dari  spirit dan moralitas  dengan  aspek-aspek  fundamental yang memperkokoh meliputi aqidah,  akhlaq, ibadah dan muamalah.
Problematika  internal  organisasi  ditengarai terjadi   karena  mengendurnya militansi  kader-kader dalam pergerakan  persyarikatan. Dikhawatirkan problematika ini  sampai pada titik kritis  yang  akan  melemahkan  sendi-sendi  pergerakan dakwah  persyarikatan. Pada titik di mana peransertanya  semakin  kurang diperhitungkan  dalam   mengokohkan  negara  bangsa Indonesia   yang menjamin keadilan  dan kesejahteraan  bagi  seluruh rakyat.
Negara  bangsa Indonesia  merupakan medan dakwah  yang   telah  turutserta dilahirkan oleh  rahim  perjuangan Muhammadiyah. Pelangi Indonesia  memberikan  warna-warni problematika  sosiologis, psikologis dan politis  yang sangat rumit dan memerlukan  terapi  canggih  untuk  merawatnya.  Kader militan persyarikatan  harus  dapat menempatkan  Muhammadiyah  dalam  posisi  penting untuk  menjaga dan  merawat  pelangi  Indonesia  supaya tetap indah  di bumi  nusantara.
Karunia   Tuhan telah  menganugerahkan  alam nusantara  yang  kaya  dan indah.Tapi, tangan-tangan manusia telah menjadikan negeri ini penuh paradoksal yang  tak sedap dipandang mata. Di tengah kekayaan alam yang melimpah, jutaan  rakyatnya  menderita dalam  kemiskinan. Di tengah  masyarakatnya  yang religius,  merajalela pula praktik-praktik korupsi. Deretan   paradoksal  masyarakat Indonesia bisa lebih diperpanjang lagi. Semua itu akan   memperjelas  bahwa  negeri  ini  merupakan medan  dakwah  yang menantang  bagi kader-kader peryarikatan yang militan untuk  ber -amar makruf  nahi munkar dan ber- fastabiqul- khairat.
Dengan  menyadari  konteks keberadaannya  di medan  dakwah  yang  demikian  menantang itu,   maka kekokohan  Muhammadiyah  akan teruji oleh  ketersediaan  kader-kader pergerakan  yang  militan.  Problematika  internal  yang melemahkan  sendi-sendi organisasi terjadi bersamaan  dengan  mengendurnya militansi  kader  yang  dihasilkan  dari  pola-pola  kaderisasi yang cenderung stagnan  dan pragmatis. Pragmatis  dalam perkaderan  terjadi  karena  orientasi  pada pengembangan amal usaha  untuk  menopang  kebutuhan finansial  dakwah persyarikatan. Sedangkan  stagnasi  dalam perkaderan  terjadi  bersamaan  dengan  kuatnya  pengaruh subordinasi  negara sebagai  akibat masuknya  personaliti  persyarikatan  dari  kalangan  birokrasi.             
Dalam  realita  dengan  mudah  disaksikan  banyak keberhasilan  persyarikatan   dalam membangun  amal usaha  pendidikan  dan  kesehatan. Tapi, di tengah  keberhasilan-keberhasilan  pragmatis  itu  Muhammadiyah  menghadapi  problematika  etis  yang sulit untuk  menyeimbangan antara kepentingan  dakwah dan  kuatnya  pengaruh  pragmatisme  pasar.  Terlebih lagi, ketika  negara  melakukan  kapitalisasi  dalam  sektor  pendidikan  dan kesehatan   yang  telah menyeret amal usaha Muhammadiyah  pun  harus  menghadapi  pertarungan  bisnis  kedua sektor  tersebut. Realita  ini menandai  kegagalan kita  dalam merawat  negara bangsa Indonesia yang   seharusnya  melindungi  hak-hak  rakyatnya   untuk  memperoleh  pendidikan dan kesehatan.  Di bawah  pengaruh hegemoni  pasar  semakin  sulit  bagi penduduk miskin untuk memperoleh  layanan dalam  pendidikan  dan kesehatan  yang  layak.
Di balik  realita hegemoni   pasar  yang terjadi adalah melemahnya daya  saing bangsa ini.   Peranserta Muhammadiyah  dalam menjaga  dan merawat bumi nusantara pun  terasa melemah  seiring dengan dinamika  internal  persyarikatan  yang  mengancam  eksistensinya. Ketika  negara bangsa ini takluk di hadapan hegemoni pasar, maka  kedaulatan  dan harga diri  kita sebagai  bangsa tergadaikan. Kini saatnya kader-kader militan persyarikatan   terpanggil nuraninya untuk  menyelamatkan bangsa, agama dan negara dari  pengaruh hegemoni pasar.
Implementasi  di lapangan sangatlah sederhana. Tumbuhkan militansi kader melalui  keteladanan  para pemimpin dengan aqidah, akhlaq, ibadah dan muamalah. Banyak  pihak  prihatin  menyaksikan  perilaku  keseharian  yang kurang amanah, tidak jujur, dan  etos kerja rendah   yang  sangat  menghambat bagi menggelorakan  militansi  kader dakwah  di persyarikatan.   Padahal, kita  memiliki konsep  militansi yang sangat tegas  dengan  inspirasi  “jihad”  di  jalan Allah,  seperti  yang  telah menggelorakan  semangat para pejuang  kemerdekaan  dengan   bambu runcingnya.
Jangan  pernah  melupakan sejarah.  Karena dari sejarah pula  kita  ketahui bahwa   Muhammadiyah telah  melahirkan  banyak kader militan   yang berwawasan  kebangsaan. Sekarang ini ibu pertiwi sangat merindukan  keberadaan  kader militan berwawasan  keindonesiaan …  *

Saefudin  Abdurachim
Wakil Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
PD Muhammdiyah Brebes

Solusi Hidup Bahagia Agar Tidak Dipusingkan Uang


Salah  satu perilaku yang menciderai kehidupan  masa kini  adalah keputusasaan  dan  takut hidup tanpa memiliki uang yang banyak. Uang  seolah   sangat menentukan  hidup matinya manusia modern.   
            Dua  puluh empat jam sehari manusia dituntut   mendapatkan  uang agar bisa bertahan  untuk  memenuhi kebutuhan  hidup. “Time is money” ,  artinya  tak sedikitpun   rela waktu dibiarkan tercecer sia-sia tanpa  usaha  untuk mendapatkan  uang. Selama  masih bernapas  manusia  berlomba-lomba  memburu uang  dan menimbunnya  sebanyak mungkin.
            Ketika  uang  yang ditimbun tiba-tiba  merosot  nilai tukarnya karena  krisis moneter, maka  dalam tempo singkat kekayaannya  mengalami  kebangkrutan. Seperti saat  terjadi  krisis moneter 1998 yang  telah membuat banyak orang  stres  karena  dipusingkan oleh  simpanan rupiah yang nilainya terpuruk. Sebuah pengalaman  yang mungkin dapat menyadarkan kita supaya  tidak terlalu mendewakan  uang, dengan menyikapinya  secara bijak melalui langkah-langkah berikut.
            Langkah pertama, kita  segera sadar  bahwa  uang  hanyalah alat tukar semata. Dalam sejarah  sebelum   manusia  mengenal  uang,   seluruh  kegiatan transaksi  dilakukan melalui sistem  barter  yang sarat dengan prinsi-prinsip moral untuk  menjaga harmoni sosial dalam masyarakat primitif. Kemudian  dorongan untuk  memiliki materi dan hasrat  memenuhi kebutuhan konsumsi telah mengubah  prinsip  pertukaran  untuk mencari keuntungan  sehingga  digunakan uang  sebagai alat transaksi.
            Sebagai alat transaksi,  uang  telah membuat sistem pertukaran  dalam masyarakat modern kehilangan  basis moral serta  bersifat mekanis  dan  rasionalistik.  Transaksi  pertukaran  menggunakan uang  tak mampu menjaga kepentingan  harmoni sosial dalam masyarakat  modern.  Karena  apa saja  yang mengandung  nilai komoditas dapat diperdagangkan  dengan  menggunakan  uang.
            Langkah kedua,  kita perlu  membedakan antara bekerja dan berkarya  sebagai modus  operandi yang sama-sama  menghasilkan  uang. Bekerja adalah  tuntutan  untuk memenuhi kebutuhan  hidup  yang lebih  bersifat biologis. Sedangkan berkarya  itu lebih  daripada  sekadar bekerja karena di dalamnya mengandung  nilai prestasi dan manfaat bagi  orang lain.  Seorang  pengemis  pun bekerja  dengan  mengharap derma, tetapi  petani yang bercocok tanam itu berkarya untuk menghasilkan  bahan pangan  guna  dijual ke pasar. Keduanya sama-sama  mendapatkan  uang, namun  petani mendapatkannya  dengan kepuasan  batin  yang tak  ternilai.
            Langkah ketiga,   kita  perlu  menyadari  bahwa  kebahagiaan  tidak bisa  diukur  dengan  uang semata. Sejatinya  uang memang penting, tapi bukan uang yang menambah kebahagiaan.  Kita  sering mendengar keluarga orang kaya  berantakan, banyak  uang tapi  tidak bahagia.  Dengan uang semua  kenikmatan mungkin dapat dibeli terkecuali nikmat kebahagiaan.   Si miskin  yang tidak  memiliki cukup uang pun  dapat menikmati  senyum kebahagiaan tersendiri.
            Langkah  keempat, kita  perlu banyak  belajar dari orang kaya  yang sukses.  Orang kaya yang  sukses adalah  orang yang bahagia. Mereka  bahagia bukan  hanya  karena  memiliki banyak uang,   tetapi  juga  ditentukan oleh sudut pandangnya  yang  benar dalam memaknai uang  bagi kehidupannnya.   Orang  kaya yang bahagia   memaknai  tujuan mencari  uang  bukan sekadar  mencapai target ambisinya  memiliki lebih banyak harta, tetapi juga  termasuk untuk  aktualisasi diri.  Mereka  tidak menganggap uang sebagai solusi  terhadap  segala persoalan.  Uang bagi mereka,  ketika  memilikinya  dan saat kehilangan  tidak terlalu  berbeda. Yang utama   adalah aktivitas yang dilakukan  sehingga  kemudian bisa  memberi dampak   yang menghasilkan uang.
            Pada umumnya  orang kaya mencari  uang  adalah suatu  yang menggembirakan. Mereka  melakukan  berbagai aktivitas dalam rangka mencari uang  dengan rasa gembira, menikmati apa yang dilakukannya.  Sedikit  atau banyak uang  yang diperoleh  dari aktivitas  yang menggembirakan  tentu  memiliki makna  yang memuaskan dirinya.  Uang tetaplah sarana, sedangkan  tujuannya  adalah  kebahagiaan  yang memiliki  nilai-nilai hakiki,  sejati  dan  abadi. Mensyukuri  adalah  kunci utama  solusi  hidup bahagia. Insya’allah…(*)Matarindo News.